Adek di Pasar 10 ulu |
Setelah menikmati semilir angin di perkampungan Arab Al-Munawar kamipun melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, yaitu pasar 10 ulu. Pasar yang ada sejak tahun 1970-an ini telah mengalami renovasi dan di resmikan pada tahun 2015 oleh Menteri perdagangan saat itu, pasar yang haruanya menjadi pasar percontohan sepertinya tidak berjalan seperti yang di harapkan.
Di Jalan KH Azhari & Jalan H.Faqih Usman ini sebenarnya banyak terdapat pasar seperti pasar di kawasan 1 ulu, pasar 3-4 ulu, pasar 5 ulu, pasar pocong. Tetapi yang terbesar adalah pasar 10 ulu ini dan pasar 7 ulu. Dulu sebelum di lakukan renovasi pasar 10 ulu ini terkenal basah, becek dan jorok tetapi pedagangnya ramai mengisi petak los-los di dalam pasar, tetapi saat selesai di renovasi justru pedagang banyak menghampar dagangannya di luar karena sewa di dalam di anggap mahal.
Adek berfoto di seberang pasar tersebut dimana biasanya ada penjual telok ukan, telok pindang serta ketan sepit, tapi hari ini adek tidak melihat penjual tersebut. Penjual makanan khas Palembang dari olahan telor ini biasanya rutin tiap hari berjualan dengan mematok harga 5 ribu perbutir untuk telok ukan atau telok pindang dan seribu Rupiah untuk satu ketan sepit.
Pasar 10 ulu yang bersebelahan dengan sungai aur tidak lepas dari sejarah pembakaran loji Sungai aur pada tahun 1811, 2 Loji milik Belanda yang di serang oleh laskar kesultanan Palembang Darussalam di bakar dan di bongkar sampai habis pondasinya yang memicu timbulnya peperangan dengan pihak Belanda pada tahun 1812. Loji Belanda tersebut di perkiraan saat ini menjadi asrama polisi yang letaknya memang tidak terlalu jauh dengan sungai aur.
Pasar ini juga bersebelahan dengan kelenteng Soei Goeat Kiong (Kelenteng Dewi Kwan Im / Chandra Nadi). di mana salah satu akses masuk ke kelenteng ini melalu jalan yang sama menuju pasar 10 ulu juga.
Kamipun melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke kelenteng tertua di Palembang yang jaraknya tidak seberapa jauhnya.
No comments:
Post a Comment