Sunday 6 October 2019

KM 0 Palembang , Apakah Air mancur ataukah Masjid Agung Palembang ?

Palembang Heritage Half Day Tour Sesion 2 -
 Rasa kecewanya masih terbawa saat berpose di patok tanda KM 0 Palembang
Setelah bernostalgia dengan megahnya Internasional Plaza, motorpun ku arahkan ke jalan Jend. Sudirman berputar di putaran Cinde selanjutnya melintasi jalan Jend. Sudirman kembali dan menuju ke kawasan air mancur, dan setelah sampai kamipun memarkir kan kendaraan kami di tempat parkir Masjid Agung Palembang yang saat ini sudah berganti nama menjadi Masjid Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikromo.

Adek yang masih kecewa dengan tutupnya arena permaina di internasional plaza tadi di tambah matahari yang semakin menyengat membuat muka cemberut adek pun tidak hilang, raut muka kekecewaan yang sempat ku bidik dengan kamera saat berpose di titik KM 0 Palembang.

KM 0 Palembang atau titik KM 0 Palembang merupakan tugu dengan ukuran sekitar 40x40 centimeter itu dicat warna hijau dengan huruf berwarna putih.Tertera tulisan "Awal Jl Jenderal Sudirman KM: 0+000 dan di bawahnya tertulis Awal Jln Ryacudu. Tugu tersebut terselip diantara tanaman-tanaman yang menghiasi pagar Masjid Agung. Selain itu KM 0 Palembang yang berada di kawasan Masjid Agung terletak di kawasan strategis yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman yang merupakan nama jalan pertama yang secara resmi disematkan sejak awal tahun 1950-an menggantikan nama Tengkuruk.
Bundaran Air Mancur berhiaskan rel dari LRT yang merupakan moda transportasi terbaru di Palembang
Tempat ini juga banyak di datangi oleh anak muda terutama di malam hari karena viewnya yang menarik ada Jembatan Ampera, Monpera, Majid Agung, Air Mancur dan paling baru adalah lintasan LRT (Light Rail Transit) serta stasiunnya yang tepat terletak di seberangnya.

Bundaran air mancur merupakan objek yang paling dekat dengan KM 0 Palembang yang di bangun hampir bersamaan dengan pembangunan Jembatan Ampera, air mancur sendiri sudah menjadi landmark kota ini, dalam kurun 2 dekade saja sudah beberapa kali air mancur ini mengalami perubahan bentuk, dan yang terakhir ini merupakan perubahan terakhir yang di lakukan saat saat adanya pelaksaan SEA Games di Palembang tahun  2011.

Gapura lama masjid agung yang bernuansa meliter 
kamipun berjalan menelusuri trotora di seputar masjid agung, tampak Gapura lama yang merupakan gapura pertama kali di pakai oleh masjid ini yang bernuasna seperti gapura suatu benteng pertahanan dengan bintang di atasnya, meneguhkan aroma meliter yang kuat di gapura ini. Tapi saat ini gapura ini tidak pernah di pakai lagi, tempat masuknya pun sudah di tutup oleh pagar besi masjid. Gerbang yang di gunakan saat ini adalah gerbang dengan corak ukiran khas palembang yang tepat berhadapan dengan air mancur.

Adek dan jam matahari
Memasuki halaman masjid agung kami di sambut dengan batang-batang kurma yang di tanam rapi, kamipun berhenti tepat di seberang lokasi wudhu yang baru, yaitu ada beton seperti tugu dengan besi lurus yang ditancapkan atasnya, setelah di konfirmasi ke salah satu penjaga masjid agung,  benda tersebut adalah jam matahari yang dulunya di gunakan untuk penunjuk waktu sholat, muazin atau imam akan melihat dari bayangan matahari untuk menentukan waktu mengumandangkan azan. Untuk saat ini jam matahari ini memang tidak di pakai  lagi sudah tergantikan dengan jam bermesin, tetapi benda ini tetap di pertahankan di sini sebagai bukti sejarah kalau dulunya benda ini sangat berguna pada masa nya.

Adek yang bersandar di brievenbus

Tidak beberapa langkah dari jam matahari terdapat bus surat dari zaman belanda tertulis di bagias atas Brievenbus yang berarti adalah bis surat.

Dalam sejarahnya di Indonesia, pos sudah ada sejak zaman VOC berkuasa di tahun 1602. Kemudian seiring berjalannya waktu maka pos kemudian menyebar di Indonesia yang kantornya dimulai dari Batavia atau Jakarta pada tahun 1746, yang penggunaannya untuk umum baru pada tahun 1864.

Bus surat yang ada di halaman masjid Agung SMB II ini memang cukup unik, karena merupakan peninggalan langsung dari zaman Belanda. Tingginya +/- 1,5 meter dan di cor semen dengan tulisan Brievenbus di bagian atas dan tulisan buslichting (pengangkatan bus/surat) di bagian bawah. Sebenarnya, dibawah tulisan buslichting ada angka 1,2, dan 3 yang mengartikan jika kotak surat itu diangkat sehari tiga kali.

Saat ini fungsi bus surat di halaman majid agung ini adalah sebagai berfungsi sebagai celengan di mana disalah satu sisi terdapat tulisan arab melayu dan satu sisi terdapat tulisan latin yang tulisannya "MASUKANLAH UANG DALAM TJELENGAN UNTUK KEPERLUAN INI MASDJID". Penulisan dengan aksara Arab Melayu ini dikarenakan di kota ini pada jaman dahulu masyarakat lebih banyak yang bisa membaca tulisan arab atau arab melayu.ketimbang tulisan latin.


Saat paling menuju kolam air yang ada persis di depan bangunan masjid agung ini merupakan kesenangan sendir bagi adek semprotan air mancur dan gemericik air membuat semangatnya bangkit kembali, kolam ini yang di pergunakan sebagai kolam air mancur dan juga di gunakan sebagai tempat wudhu.

Masyarakat Palembang sendiri lebih mengenal masjid yang terletak di pusat kota Palembang ini sebagai masjid Agung yang bermakna besar, walaupun sudah berganti nama beberapa kali dari Masjid Sultan Mahmud Badarudin II / Masjid SMB II dan sekarang ini namanya berubah menjadi Masjid Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikromo yang dikukuhkan pada 2 Februai 2019.

Pada mulanya Masjid Agung ini disebut Masjid Sultan, karena dididirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang dikenal pula dengan Jayo Wikramo (memerintah tahun 1724-1758). Perletakan batu pertama pada tahun 1738, dan peresmiannya pada hari Senen tanggal 28 Jumadil Awal 115 H atau 26 Mei 1748.
Taman di halaman masjdi agung Palembang yang merupakan kerjasama dengan bank Mandiri

Bentuk masjid yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung, jauh berbeda tidak seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada tahun 1990-an.

Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan. Perluasan kedua kali pada tahun 1930. tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung yang pada tahun 1966-1969 membangun tambahan lantai kedua sehingga luas mesjid sampai sekarang 5520 meter persegi dengan daya tampung 7.750, dan terakhir renovasi di lakukan pada tahun 2003 saat era presiden Ibu Megawati Sukarno Putri.

Gerbang Baru Masjid Agung yang merupakan CSR dari pihak PLN
Perbaikan dan renovasi di lakukan demi kenyamanan beribadah jemaah, gerbang teranyar yang baru di kerjakan oleh pihak masjid atas kerjasama (CSR) dengan pihak PLN, gerbang dengan warna orange terang cukup menarik para pelintas jalan May. Tjik Agus Kiemas. Begitu juga di bagian dalam taman bungan dan huruf timbul yang membentuk nama masjid ini yang merupakan kerjasama (CSR) dari pihak bank Mandiri yang semakin mempercantik masjid ini.

No comments:

Post a Comment