Ilustrasi Mengaji Sumber Facebook.com |
“Plak.....plak “... sambaran rotan itu tepat mengenai tangan dan kaki ku.
“ Siapo yang nakal saat ngaji, bakal cak ini jugo .... (Siapa yang nakal saat ngaji, akan seperti ni juga)” sambil mendelik guru ngaji yang biasa di panggil wak tersebut menunjuku dengan logat daerahnya yang medok membuatku hanya bisa tertunduk.
Teras rumah yang di pakai mengaji mendadak menjadi sunyi, celoteh anak-anak sebayaku yang dari tadi terdengar ramai berubah menjadi hening.
Ku perhatikan bekas biru rotan kecil yang ada di tangan dan kakiku, sakitnya lumayan terasa untuk anak semuruan ku saat itu, tapi ada malu yang kutahan karena di marahi oleh guru ngaji di depan anak-anak yang lain yang menunduk sambil tersenyum.
“Laen kali kalu lagi ngaji, nurut apo yang di omongke samo wak, jangan bantah apolagi ngelawan...( lain kali kalau mengaji, harus menurut apa yang di katakan oleh wak, jangan membantah apalagi melawan)” kata ayah sambil memberika obat gosok di tangan dan kaki ku yang berwarna biru.
Hampir setiap sore kami mengaji kerumah beliau yang memang tidak jauh dari rumah ku, dengan membawa sekilo beras, minyak tanah di dalam botol sirop dan sepiring makanan, aku dan ayuku (kakak tertuaku) di antar oleh ibu kami untuk belajar mengaji di rumah wak.
Senin sampai kamis kami mengaji huruf hijaiyah dengan menggunakan jus ammah yang di Palembang sendiri di sebut dengan turutan, jumat sampai Minggu di isi dengan kegiatan praktek sholat, hafalan surah pendek dan doa, serta belajar menulis huruf arab.
Setiap hampir jam 4 sore maka temanku mulai beramai-ramai datang menuju ke rumah wak sambil berteriak dirumah-rumah sembari memanggil nama anak yang juga ikut mengaji, sehingga kami beramai-ramai menuju rumah wak, menggunakan sarung dan peci sambil membawa turutan.
Tapi yang namanya anak-anak nakal itu sudah biasa, terkadang permainan yang belum selesai kami mainkan, kami bawa sampai ketempat ngaji dan tidak heran jika wak marah seperti hari ini.
Banyak cerita yang terjadi saat kami mengaji dari di pukul rotan, dimarahi ataupun saat anak buang angin yang saking gugupnya saat mengaji karena bunyi rotan yang selalu mengetuk-ngetuk lehar (tatakan luntuk Al-Quran/Turutan), sehingga sontak anak lain pada tertawa saat mendengar bunyi angin gugup tersebut, dan hal ini juga yang membuat rotan wak meluncur ke bagian badan anak tersebut.
Wak yang juga bertugas menjadi imam musolah dan juga terkadang mengisi ceramah memang sudah berusia lanjut, hampir 60 tahunan dan keseharian beliau di habiskan untuk berdagang di pasar sebagai mata pencaharian beliau, setelah selesai berdagang beliaupun mulai mengajar sedari pukul 4 sore sampai berakhir sebelum magrib, dan setelah sholat magrib berjamah kamipun pulang ke rumah masing-masing.
Saat melintas di bekas kediaman beliau beberapa hari yang lalu, rumah tersebut sudah berubah menjadi rumah permanen yang cukup mewah, sejak wak meninggal dan di susul dengan istrinya sudah tidak ada lagi yang merawat rumah tersebut, beberapa tahun lamnya rumah tersebut kosong dan akhirnya rumah tersebut tersebut di jual oleh ahli warisnya.
Ternyata untuk menjadi seorang guru terutama yang bergelar ustad/ustaza yang bisa mengajarkan Al-Quran tidak semudah yang aku kira apalagi saat pidemi seperti ini di saat stay at home di berlakukan oleh pemerintah, otomatis anak-anak yang belajarpun harus di rumah. Termasuk TK TPA yang berada tidak jauh dari tempat tinggal kamipun sudah lebih dari 2 bulan ini pun di hentikan sementara kegiatannya.
Bunda sendiri yang merupakan ustazah atau guru ngaji di salah satu TPA di tempat tinggal kamipun terkadang mengajar anak sendiri masih sering terbawa emosi, memang ku akui memang mengajar itu tidak mudah apalagi mahluk awam sepertiku.
Terkadang merawat kesabaran di dalam diri saat kita mengajar memang di tuntut lebih, baik itu saat mengjarkan cara membaca ataupun cara menghapal, itulah mengapa tidak setiap orang bisa menjadi pendidik/pengajar.
Pada saat ini banyak sekali ustad/ustazah yang tidak dapat melaksanakan tugas sebagai mana biasanya, banyak TK/TPA yang tutup dan banyak juga ustad-ustad kampung yang tidak bisa lagi mengisi khotba jumat ataupun menjadi imam taraweh.
Memang kalau di lihat dari penghasilan, para ustad/ustazah kampung ini tidak bisa di samakan dengan ustad/ustazah yang kondang dan terkenal apalagi yang sering muncul di tv, tetapi para ustad/ustazah kampung ini lah yang menjadi ujung tombak mendidik anak-anak mengenalkan agama sedari dini, mengajarkan anak-anak membaca dan menghafal Al-Quran, mengajarkan fiqih dan tahuid dan lain sebagiannya.
Tetapi keikhlasan mereka yang tidak bisa terukur terkadang hanya berbuah doa, dalam selipan beberapa Rupiah jasa, tetapi mereka maju terus untuk menunaikan kewajiban mereka mengajarkan ilmu Al-Quran dan lainnya walupun ada atau tanpa penghargaan.
Terima kasih pernah menorehkan balur biru di tangan dan kaki ini, mungkin kalau dulu tidak ada balur biru ini mungkin aku tidak bisa mengaji sampai sekarang, tidak mengerti bacaan sholat sampai sekarang, tidak mengerti mengenai cerita nabi dan rosul dan lainnya yang berkaitan dengan agama.
Wak sang ustad kampung mungkin sudah lama tiada, tetapi amal beliau akan terus mengalir dari banyak murid-muridnya, walau engkau tak kaya dengan materi tapi ilmu yang kau sebarkan membuat engkau tetap di kenang, semoga Allah memberikan tempat terbaik buatmu. Al-Fatihah.
No comments:
Post a Comment