Aku dan Minuman Legend |
Monday, 25 May 2020
Merasakan Kembali Kenangan Si Minuman Legend, Saparela
Saturday, 16 May 2020
Rinai Hujan Ini Membuat Ku Berdamai Dengan Hati
Friday, 8 May 2020
Mana 10 Milyar Saya
Membuka arsip lama salah satu pelatihan kepemimpinan yang pernah ku ikuti di salah satu kawasan objek wisata ini propinsi ini, satu persatu lembar ku baca ulang, saat sampai di lembar impian, kubaca agak lama ternyata sudah banyak yang kutuliskan di sana menjadi kenyataan, ada beberapa yang memang belum terwujud sampai saat ini salah satunya memiliki dana 10 Milyar di usia 40 tahun, saat menulis impian tersebut sekitar 18 tahun yang lalu instrukturku berkata :
“Tulislah impian gila kalian untuk jangka waktu yang panjang dan saksikan perbedaanya”
Aku dan temanku yang saat itu bisa di bilang hanya kami berdua yang masih bujangan karena peserta lainnya merupakan karyawan paruh baya dan sudah berkeluarga yang berkompetisi untuk mendapat kan promosi jabatan dari kantornya dan salah satu syaratnya adalah harus mengikuti pelatihan ini. Pelatihan yang di laksanakan selama 1 minggu ini di kawasan pinggiran danau yang berjarak lumayan jauh dari kota Palembang.
Satu persatu ku baca kembali impian lama tersebut ternyata Allah sudah sangat banyak mengabulkan apa yang aku tuliskan saat itu, dari pekerjaan, tempat tinggal, kendaraan, pertemanan dan yang lainnya. Tetapi 1 hal yang ku tatap dan ku ulang ulang bahwa saat itu ada tabungan sebesar 10 milyar yang kupunya, dan ini terus menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
Hingga akhirnya kesempata itu tiba, akupun bertemu intruktur ku di salah satu bank swasta, beliau sedang duduk menunggu panggilan nomor untuk ke customer cervice, beliau sudah lama pensiun dari tempat beliau bekerja dan sekarang hanya menikmati keseharian beliau di rumah saja, setelah ngobrol ngalur ngidul bertanya kabar, kesehatan dan lainnya akupun langsung menanyakan yang selama ini terpendam di dalam otakku.
"Pak, dulu saat pelatihan ada pelajaran impian, di mana kami di suruh menuliskan impian-impian gila yang akan terwujud dalam beberapa tahun kedepan" paparku cepat
"Iya kenapa ?" tanya beliau lagi.
" Di situ kutuliskan saat umur 40 tahun aku memiliki tabungan sebanyak 10 milyar, kok sampai sekarang belum terjadi" kata ku lagi.
Sambil tersenyum dan memperbaiki posisi kacamatanya, diapun lanjut berkata ;
"Asumsi saudara saat menuliskan 10 milyar tersebut apakah berupa uang atau lainnya ?" tanya instruktur tersebut
"Yang kutulis hanya tabungan sejumlah 10 milyar" jawabku.
Sambil tersenyum lagi beliau bertanya ; "Sudah beberapa lama sejak saudara menuliskan impian tersebut sampai dengan saat ini ?
"kurang lebih 18 tahun" jawabku
"Apakah ada perubahan selama 18 tahun ini ?" tanya beliau lagi
Akhirnya kuceritakan tentang keluarga ku, tentang pekerjaan ku, tentang anak-anak ku, tentang semuanya dalam rentang lebih kurang 18 tahun berlalu, sambil akhirnya beliau pun berkata : " Sadar tidak bahwa yang semua saudara katakan tadi sudah lebih dari 10 milyar " katanya yang membuat aku terkejut.
"maksudnya bagai mana pak ?' tanyaku
"Coba saudara pikir ada kalanya Allah tuhan kita menurunkan berkah dan rezeki sesuai dengan kebutuhan umatnya, ada yang di kasih dalam bentuk uang 10 milyar tanpa ada jeda, tetapi ada juga yang tidak. Ada yang di berikan kesehatan dan keluarga yang banyak dengan anak tetapi hanya di berikan harta yang sederhana, tetapi ada yang memiliki banyak harta tetapi tanpa di karuniai seorang anak pun"
Aku hanya terdiam, sambil menatap wajahnya yang sudah banyak mengeriput.
" Coba saudara pikir harga kesehatan saudara, atau harga tubuh saudara berapa, ada yang mau beli ginjal 300 juta per buahnya bagi yang memiliki penyakit gagal ginjal, atau ada yang menghargai jantung dengan harga 1,5 milyar untuk para transplantasi yang mebutuhkan, atau ada juga yang menghargai hati kita dengan 500 juta hanya untuk menggantikan hatinya yang sudah tidak berfungsi lagi".
Akupun makin mendengarkan dengan serius,
"Itu baru dari sisi kesehatan dan anggota tubuh, anak yang di karunia oleh Allah kepada saudara berapa saudara mau jual ?" tanya beliau
"Nggak mungkin akan saya jual pak.... orang nggak waras yang menjual anak nya demi uang" jawabku
"Itu jawabannya.... ada harta yang lebih berharga ketimbang uang, seperti saudara yang karunia 3 anak walupun dalam kondisi sederhana, sedangkan saya mungkin dari sisi harta saya lebih baik tapi sampai umur tinggal di ujung kubur seperti ini tiada seorangpun yang namanya anak yang Allah karuniakan kepada kami".
Aku sempat terkejut mendengar penuturannya.
"10 milyar yang saudara tuliskan 18 tahun yang lalu mungkin sudah lama terwujud tapi bukan dalam bentun uang tunai atau harta benda yang bisa di simpat, tetapi Allah justru memberikan hal yang tak ternilai harganya,... istri, anak & keluarga yang bahagia merupakan hal yang tak bisa di nilai dengan uang, begitu juga kesehatan, pekerjaan yang baik dan juga teman-teman yang ada di sekitar kita juga merupakan harta yang tidak terniali, apakah semua itu mau saya tukar dengan 10 milyar ?" tanyanya sambil tersenyum
Aku menggeleng
"Bersyukur itulah kuncinya, jaga titipan Allah yang tidak ternilai ini karena semuanya lebih dari 10 milyar" katanya menutup ucapanya karena layar antri sudah memanggil nomor antrian instruktur ku tersebut.
Terima kasih pak atas segala petuah bijaknya, ternyata benar bahwa Allah sudah memberikan harta yang tidak ternilai tetapi kita sering tidak menyadari bahwa yang kita anggap harta adalah hanya uang dan harta kebendaan fisik belaka, semoga kedapan saya akan lebih bisa bersyukur terhadap segala pemberianMu.
Monday, 4 May 2020
Terima Kasih Atas Balur Biru Ini
Ilustrasi Mengaji Sumber Facebook.com |
“Plak.....plak “... sambaran rotan itu tepat mengenai tangan dan kaki ku.
“ Siapo yang nakal saat ngaji, bakal cak ini jugo .... (Siapa yang nakal saat ngaji, akan seperti ni juga)” sambil mendelik guru ngaji yang biasa di panggil wak tersebut menunjuku dengan logat daerahnya yang medok membuatku hanya bisa tertunduk.
Teras rumah yang di pakai mengaji mendadak menjadi sunyi, celoteh anak-anak sebayaku yang dari tadi terdengar ramai berubah menjadi hening.
Ku perhatikan bekas biru rotan kecil yang ada di tangan dan kakiku, sakitnya lumayan terasa untuk anak semuruan ku saat itu, tapi ada malu yang kutahan karena di marahi oleh guru ngaji di depan anak-anak yang lain yang menunduk sambil tersenyum.
“Laen kali kalu lagi ngaji, nurut apo yang di omongke samo wak, jangan bantah apolagi ngelawan...( lain kali kalau mengaji, harus menurut apa yang di katakan oleh wak, jangan membantah apalagi melawan)” kata ayah sambil memberika obat gosok di tangan dan kaki ku yang berwarna biru.
Hampir setiap sore kami mengaji kerumah beliau yang memang tidak jauh dari rumah ku, dengan membawa sekilo beras, minyak tanah di dalam botol sirop dan sepiring makanan, aku dan ayuku (kakak tertuaku) di antar oleh ibu kami untuk belajar mengaji di rumah wak.
Senin sampai kamis kami mengaji huruf hijaiyah dengan menggunakan jus ammah yang di Palembang sendiri di sebut dengan turutan, jumat sampai Minggu di isi dengan kegiatan praktek sholat, hafalan surah pendek dan doa, serta belajar menulis huruf arab.
Setiap hampir jam 4 sore maka temanku mulai beramai-ramai datang menuju ke rumah wak sambil berteriak dirumah-rumah sembari memanggil nama anak yang juga ikut mengaji, sehingga kami beramai-ramai menuju rumah wak, menggunakan sarung dan peci sambil membawa turutan.
Tapi yang namanya anak-anak nakal itu sudah biasa, terkadang permainan yang belum selesai kami mainkan, kami bawa sampai ketempat ngaji dan tidak heran jika wak marah seperti hari ini.
Banyak cerita yang terjadi saat kami mengaji dari di pukul rotan, dimarahi ataupun saat anak buang angin yang saking gugupnya saat mengaji karena bunyi rotan yang selalu mengetuk-ngetuk lehar (tatakan luntuk Al-Quran/Turutan), sehingga sontak anak lain pada tertawa saat mendengar bunyi angin gugup tersebut, dan hal ini juga yang membuat rotan wak meluncur ke bagian badan anak tersebut.
Wak yang juga bertugas menjadi imam musolah dan juga terkadang mengisi ceramah memang sudah berusia lanjut, hampir 60 tahunan dan keseharian beliau di habiskan untuk berdagang di pasar sebagai mata pencaharian beliau, setelah selesai berdagang beliaupun mulai mengajar sedari pukul 4 sore sampai berakhir sebelum magrib, dan setelah sholat magrib berjamah kamipun pulang ke rumah masing-masing.
Saat melintas di bekas kediaman beliau beberapa hari yang lalu, rumah tersebut sudah berubah menjadi rumah permanen yang cukup mewah, sejak wak meninggal dan di susul dengan istrinya sudah tidak ada lagi yang merawat rumah tersebut, beberapa tahun lamnya rumah tersebut kosong dan akhirnya rumah tersebut tersebut di jual oleh ahli warisnya.
Ternyata untuk menjadi seorang guru terutama yang bergelar ustad/ustaza yang bisa mengajarkan Al-Quran tidak semudah yang aku kira apalagi saat pidemi seperti ini di saat stay at home di berlakukan oleh pemerintah, otomatis anak-anak yang belajarpun harus di rumah. Termasuk TK TPA yang berada tidak jauh dari tempat tinggal kamipun sudah lebih dari 2 bulan ini pun di hentikan sementara kegiatannya.
Bunda sendiri yang merupakan ustazah atau guru ngaji di salah satu TPA di tempat tinggal kamipun terkadang mengajar anak sendiri masih sering terbawa emosi, memang ku akui memang mengajar itu tidak mudah apalagi mahluk awam sepertiku.
Terkadang merawat kesabaran di dalam diri saat kita mengajar memang di tuntut lebih, baik itu saat mengjarkan cara membaca ataupun cara menghapal, itulah mengapa tidak setiap orang bisa menjadi pendidik/pengajar.
Pada saat ini banyak sekali ustad/ustazah yang tidak dapat melaksanakan tugas sebagai mana biasanya, banyak TK/TPA yang tutup dan banyak juga ustad-ustad kampung yang tidak bisa lagi mengisi khotba jumat ataupun menjadi imam taraweh.
Memang kalau di lihat dari penghasilan, para ustad/ustazah kampung ini tidak bisa di samakan dengan ustad/ustazah yang kondang dan terkenal apalagi yang sering muncul di tv, tetapi para ustad/ustazah kampung ini lah yang menjadi ujung tombak mendidik anak-anak mengenalkan agama sedari dini, mengajarkan anak-anak membaca dan menghafal Al-Quran, mengajarkan fiqih dan tahuid dan lain sebagiannya.
Tetapi keikhlasan mereka yang tidak bisa terukur terkadang hanya berbuah doa, dalam selipan beberapa Rupiah jasa, tetapi mereka maju terus untuk menunaikan kewajiban mereka mengajarkan ilmu Al-Quran dan lainnya walupun ada atau tanpa penghargaan.
Terima kasih pernah menorehkan balur biru di tangan dan kaki ini, mungkin kalau dulu tidak ada balur biru ini mungkin aku tidak bisa mengaji sampai sekarang, tidak mengerti bacaan sholat sampai sekarang, tidak mengerti mengenai cerita nabi dan rosul dan lainnya yang berkaitan dengan agama.
Wak sang ustad kampung mungkin sudah lama tiada, tetapi amal beliau akan terus mengalir dari banyak murid-muridnya, walau engkau tak kaya dengan materi tapi ilmu yang kau sebarkan membuat engkau tetap di kenang, semoga Allah memberikan tempat terbaik buatmu. Al-Fatihah.