Thursday 23 May 2013

2 Hari Di Kota Udang Cirebon #Part 1, Nikmatnya Empal Gentong & Harumnya Nasi Jamblang

Saat baru nyampe di kota Udang narsis dulu di depan jalan masuk stasiun Cirebon
Hari ke 1 -
Dengan persiapan seadanya kami menuju gambir, dengan rencana ke kota Cirebon, karena ada urusan yang harus di selesaikan , dengan menumpang kereta api argo jati yang jadwal berangkatnya pukul 2 Siang, jarang-jarang naik kereta eksekutif tetapi sesekali boleh lah.


Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.

Stasiun besar Cirebon
Pada awalnya Cirebon berasal dari kata sarumban, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalambahasa Cirebon artinya bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. kemudian pelafalan kata caruban berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.

Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut(belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi cirebon. 

Dengan menggunaan kereta dari stasiun Gambir dengan waktu tempuh sekitar 4 jam akan tiba di stasiun besar Cirebon, setelah tiba di stasiun Cirebon, kami langsung menuju ke hotel Amaris  di mana letak nya tidak terlalu jauh dari stasiun, selanjutnya hal yang pertama kami tuju tentunya kuliner untuk bersantap siang, dan pilihan pun jatuh pada Empal Gentong Mang Darma yang memang punya citra rasa yang khas, dengan kendaraan rental kamipun memulai perjalanan pada hari ini.

Empal Gentong
Empal gentong dengan cabe yang khas
Satu satu hal yang menjadi pembeda empal gentong dengan gule adalah kuliner khas Cirebon ini dimasak dengan kayu bakar, biasanya menggunakan kayu dari pohon mangga. Wadah yang digunakan untuk memasak empal gentong juga unik, bukan panci biasa, melainkan gentong atau periuk yang terbuat dari tanah liat, 

Kuah yang di masak menggunakan Gentong tanah
dan kayu bakar
Bahan utama yang digunakan bisa dari usus, babat, kikil atau daging sapi, sesuai selera. Itulah sebabnya makanan ini disebut empal gentong, merujuk pada bahan utama yang terbuat dari daging sapi dan sedikit lemak, sementara gentong ditujukan sebagai proses memasak yang menggunakan periuk tanah liat. Makin lama gentong digunakan untuk memasak, konon membuat empal gentong ini makin nikmat. Itu karena kerak bumbu meresap ke dalam pori-pori tanah liat sehingga menghasilkan citarasa yang khas. Ciri khas lain dari empal gentong yang tidak bisa ditemukan di makanan lainnya adalah penggunaan daun kucai serta sambal yang terbuat dari cabai yang dikeringkan dan digiling. Dua bumbu penyedap tradisional ini membuat empal gentong Cirebon nikmat memanjakan lidah.  Empal gentong ini bisa disajikan dengan seporsi nasi hangat atau lontong, atau orang Cirebon menyebutnya bongko. Jangan juga melupakan dorokdok alias kerupuk kulit daging sapi sebagai pelengkap untuk menikmati kudapan empal gentong ini. Setelah di teliti hampi semua tempat yang menjual empal gentong di Cirebon ini menggunakan nama "mang darma" mungkin sudah generasi penerus atau memang lebih laku dengan menggunakan nama ini.


Setelah menghabiskan seporsi empal gentong dan nasi serta segelas es teh manis maka perjalanan menelusuri kota pun kami lanjutkan dan beberapa tempat yang sempat di bidik kamera antara lain :

Pusat kota atau puseur dayeuh

Gedung Balai Kota Cirebon
Di Tanah Jawa Barat tempo doeloe biasanya dicirikan dengan sebidang tanah lapang yang dinamakan alun-alun. Di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan fungsional. Begitu pula halnya dengan keberadaan Balai Kota Cirebon, yang terletak di Jalan Siliwangi No.24 Kampung Tanda Barat, Kelurahan Keramat, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya tepat berada di jatung kota Cirebon, dan mudah untuk ditempuh dengan moda tansportasi darat, baik itu kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat. Beberapa meter di sebelah selatan bangunan Balai Kota terdapat alun-alun Kota Cirebon, sedangkan beberapa meter arah utara terdapat stasiun kereta api kejaksan Cirebon.Masih dalam lingkaran pusat kota, di sebelah barat adalah ruas rel kereta api yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Barat hingga ke Jakarta. Sebelah timur Balai Kota adalah Jalan Siliwangi yang membelah pusat kota tersebut. Di jalan tersebut berdiri banyak hotel dari berbagai tingkatan, mulai dari kelas losmen, hotel melati hingga hotel berbintang.

Gedung Balai Kota Cirebon merupakan karya perancang dua aristek bernama H.P. Hamdl dan C.F.H. Koll, yang berusaha memadukan konstruksi barat dengan gaya arsitektur berfilosofi lokal. Menurut Agustinus David dalam skripsinya yang berjudul Bentuk dan Gaya Bangunan Balai Kota di Cirebon (2010) dijelaskan bahwa Gedung Balai Kota Cirebon terpengaruh oleh gaya modern yang berkembang di Belanda, yaitu gaya Amsterdam School yang berkembang antara tahun 1910 – 1930. 

Sudut kota Cirebon
Hal ini terlihat dari ekspresionis yang kuat dalam bentuk. Pemakaian bahan bangunan dari alam seperti batu bata dan bentuknya yang sangat plastis, ornamen sculptural dan bermacam-macam warna dari bahan asli (bata, alam, kayu). Gedung yang berdiri pada areal lahan yang luasnya sekitar 15.770 m², dan memiliki luas bangunan 868 m² ini bertembok warna putih dan bertekstur halus, dibangun atas prakarsa J.J. Jiskoot, irektur Gemeentewerken (Dinas Pekerjaan Umum) Cirebon kala itu, yang pembangunan fisik bangunannya mulai dilakukan pada 1 Juli 1926 dan selesai dibangun pada 1 September 1927. Biaya pembangunannya menghabiskan dana sekitar 165000 gulden. Gedung Balai Kota ini memiliki 3 bangunan secara terpisah yang terdiri dari bangunan utama dan bangunan pendamping di sayap kiri dan sayap kanannya. Di bagian depan pada angunan utama terdapat portico yang berbentuk setengah lingkaran. Pada bagian dalam pada bangunan utama banyak terdapat kaca patri yang memiliki hiasan bervariasi. Di dinding bagian depan pada bangunan utama memiliki enam buah hiasan udang yang menempel pada dinding.


Di dalam ruangan pada bangunan utama memiliki banyak bentuk pilaster yang bercirikan Tuscan. Tuscan merupakan salah satu arsitektur Romawi Klasik yang memiliki hiasan moulding pada kepala tiangnya. Gedung ini semula berfungsi sebagai Raadhuis (Dewan Perwakilan Kota) yang merupakan pusat administrasi Kota Praja Cirebon. Ketika itu, gedung ini juga kerapkali digunakan sebagai tempat pertemuan dan pesta pernikahan kalangan bangsa Eropa. Pada masa Pemerintahan Militer Jepang hingga masa kemerdekaan, gedung ini menjadi pusat Pemerintahan Kota Cirebon. Gedung ini merupakan salah satu dari sekian banyak bangunan kolonial di Cirebon yang masih berdiri utuh, menjadi bukti sejarah perkembangan gaya seni bangunan dari masa kolonial di Cirebon. Berdasarkan kekunaan kisahnya, gedung ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001.

Masjid Raya at-Taqwa Kota Cirebon 

Masjid Raya At-Taqwa Kota Cirebon
Didirikan pada tahun 1918 di suatu kampung yang bernama Kejaksan, yang terdiri dari dua bagian, yang satu untuk dipergunakan sebagai Tajug Agung (Masjid At Taqwa sekarang) dan setengah bagian yang lain dipergunakan sebagai alun-alun (Alun-alun Kejaksan sekarang). Pada tahun ini juga Jalan RA. Kartini merupakan Jalan Kereta Apimenuju ke Pelabuhan Cirebon yang kemudian dipindahkan ke Jalan KS Tubun. 

Nama masjid Raya At-Taqwa Cirebon, semula sebenarnya adalah Tajug Agung, bangunannya sudah cukup lama dan tua, ruangannya terlalu kecil dan letaknya kurang menghadap kiblat, kemudian R. M. Arhatha, kepala Koordinator Urusan Agama Cirebonmempunyai gagasan untuk merenovasi Tajug Agung itu di tempat yang lama dengan mengambil nama Masjid At-Taqwa, karena sudah ada masjid agung yang terletak di kasepuhan yang sekarang menjadi Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Seolah-olah pada waktu itu tidak dibenarkan dua nama yang sama pada dua masjid yang letaknya masih dalam satu kota, yaitu Tajug Agung dan Masjid Agung. Akhirnya pada tahun 1951 terwujudlah bangunan masjid tersebut dan diresmikan menjadi At Taqwa tahun 1963 

Gaya arsitektur masjid yang mencirikan bangunan tropis dengan atap jurai serta dilengkapi dengan empat menara kecil (menaret) dan sebuah menara setinggi 65 meter. Namun kehadiran gerbang (gate) selebar 3 meter sebelum memasuki bangunan utama yang menjadi point of interest bangunan masjid memberi nilai tersendiri. 

Gerbang dengan warna emas yang menyolok bertuliskan kaligrafi dua kalimat syahadat yang terbuat dari bahan glass reinforced cement (GRC) di atas batu granit asli dari Brasil, mendominasi tampak muka (fasad) bangunan. Bingkai putih semakin menonjolkan warna emas gerbang. 

Enam tiang penyangga lampu taman yang menghiasi jalan masuk menuju gerbang, seperti hendak menyambut ramah kedatangan tamu-tamu Allah. Seluruh lantai dan dinding masjid menggunakan batu granit, begitu juga tiang-tiang dalam mesjid. Tiang-tiang dihiasi dengan ornamen arsitektur Islam. 

Tidak seperti bangunan umumnya, bagian dinding tidak dilengkapi dengan jendela yang tertutup kaca. Jendela besar-besar yang ada dibiarkan terbuka untuk membiarkan aliran udara lancar keluar masuk masjid. Jendela hanya diberi teralis besi ditambah elemen estetika yang terbuat dari kuningan dengan pola arsiterktur Islam. 

Keteduhan juga diupayakan untuk dihadirkan di arena luar masjid dengan menanam 10 pohon kurma di halaman samping masjid yang dekat dengan sisi jalan. Kehadiran dua kolam air mancur di sisi kanan dan kiri bagian depan mesjid, semakin melengkapi keindahannya.

Nasi Jamblang
Nasi Jamblang & Blakutak Ireng Ibu Nur
Menjelang sore hari kami melanjutkan perjalanan kami kali ini tujuan kami adalah nasi jamblang Bu Nur yang sangat terkenal itu, mengutip dari http://travel.detik.com/ Nasi jamblang sendiri merupakan kuliner lokal khas Cirebon yang juga masuk dalam 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia atau IKTI. Ciri khas nasi jamblang terlihat dari penggunaan daun jati sebagai alas piring. Selain terlihat unik, konon kabarnya juga membuat wangi yang lebih sedap.

Antri dan ambil sendiri seperti konsep parasmanan
Sabar mengantre, giliran pun tiba. Terlihat berbagai pilihan lauk pauk yang dijejerkan dalam barisan mangkuk berukuran besar. Pelayan restoran pun sigap menaruh daun jamblang di atas piring, disusul dengan pertanyaan mau memesan nasi berapa. Nasi jamblang sendiri tidak jauh beda dengan nasi kucing untuk ukuran nasi, seporsi nasinya sama kecilnya. Kalau Anda suka makan, pesan dua nasi adalah ukuran yang paling normal di sini. Setelah mendapat nasi, kita bebas memilih mau mengambil lauk apa. Boleh bertanya, lauk rekomendasi di Nasi Jamblang Ibu Nur adalah cumi saus hitam (blakutak), otak sapi goreng, perkedel kentang kering, sate kentang, dan pepes telur asin. Apapun yang menjadi pilihan Anda, pastikan untuk dihabiskan ya. 

Di akhir pilihan lauk pauk pun sudah menanti kasir yang siap menghitung pesanan Anda. Metode makan nasi jamblang pada umumnya adalah pilih lauk, bayar di depan, baru makan. Untuk minum, cukuplah segelas es teh manis yang tentunya menyegarkan.

Wadah lauk pauk ala nasi Jamblang
Tantangan berikutnya adalah mencari tempat duduk pada jam makan siang yang cukup ramai. Setelah dapat tempat duduk, nasi jamblang pun dapat segera disantap. Urusan nasi rasanya memang biasa, tapi soal kenikmatan lauknya jangan ditanya. Dahsyat! 

Kenikmatan menyantap nasi jamblang pun makin terasa dengan sendokan sambal merah yang dapat diminta saat awal memesan. Rasa sambalnya pun tidak pedas, namun makin menambah nikmat sensasi menyantap nasi jamblang. 

Soal harga pun cukup terjangkau. Anda bisa melihat lauk beserta harganya yang telah tertera di salah satu tembok. Tapi kalau Anda kalap memesan lauk ya jatuhnya bisa mahal juga. Kalau mampir ke Cirebon lagi, Nasi Jamblang Ibu Nur pasti akan didatangi kembali. 

Namun jika Anda ingin mencicipi Nasi Jamblang Ibu Nur, usahakan datang sebelum makan siang atau harus sabar mengantre. Saking terkenalnya, antreannya tidak kalah mengular seperti mau naik bianglala loh. Tapi ada perjuangan memang ada rasa. Saat malam menjelang kami pun kembali ke hotel Amaris yang tidak jauh dari stasiun cirebon untuk beristirahat dan memulai lagi petualangan kami di kota Cirebon ini.


No comments:

Post a Comment