Wednesday, 3 April 2019

Jejak Kendali Kekuasaan Sang Kolonial

Palembang Hweitage Half Day Tour - Di Depan Kantor Walikota Palembang
Setelah selesai dengan segala warna warni di kampung mural aku dan adek melanjutkan perjalanan kami, motor ,menapaki aspal secara perlahan seakan ingin menggali lebih dalam cerita kota ini yang tersembunyi. Perjalanan kami terhenti di bangunan iconic kota ini yaitu kantor walikota Palembang, bangunan unik yang hanya satu satunya di Indonesia, yang awal mulanya berfungsi sebagai perkantoran/ Gemeente dan menara air.

Bangunan ini berdiri pada tahun 1928 yang dulunya dikenal dengan sebutan Water Torren (Menara Air) atau disebut masyarakat Palembang sebagai Kantor Ledeng.Pada Zaman Jepang pada tahun (1942 - 1945) Balai Kota (Kantor Menara Air) dijadikan Kantor Syuco-kan (Kantor Residen) dan terus dimanfaatkan sebagai balaikota sampai dengan tahun 1956.

Kantor walikota Palembang Eks Water torren (2019)
Pada saat Kemerdekaan RI diproklamasikan, 17 Agustus 1945, Kantor Ledeng menjadi saksi heroisme pemuda di Palembang. Para pejuang yang terdiri atas bekas opsir Gyu Gun, yaitu Hasan Kasim, M. Arief, Dany Effendy, Raden Abdullah (Cek Syeh), Rivai, dan mantan opsir Gyu Gun lainnya, bekerja sama dengan kelompok pemuda yang dipimpin Mailan beserta pembantunya, Abihasan Said dan Bujang Yacob. Mereka mengibarkan bendera kebangsaan di empat sisi atas Kantor Ledeng. 

pada tahun 1928, utang Haminta Palembang sudah menumpuk. Untuk pajak jalan dan jembatan saja, mencapai 3,5 ton emas, Ini belum lagi keterpurukan akibat parahnya sistem administrasi. Setahun kemudian, 1929, setelah pembuatan master plan kota oleh Ir. Th. Karsten, dibangunlah sarana air bersih. Selain bangunan berupa menara saat ini, Bangunan yang dibangun pada tahun 1928 selesai di bangun pada 1931 ini didirikan dengan gaya de stijl, yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar. dengan menghabiskan biasa +/- 1 ton emas

Pendistribusian air bersih dikenal sebagai sistem gravitasi setinggi 35 meter dan luas bangunan 250 meter persegi. Bak tampungnya berkapasitas 1.200 meter kubik merupakan cara yang efektif pada saat itu untuk pendistribusian air sampai ke daerah klonial talang kerangga, daerah pasar 16 ilir, segaran dan sekitranya.


Tidak jauh dari kantor walikota Palembang kami pun menghentikannya langkah kami di depan kantor badan kepegawaian dan PSDM kota Palembang yang merupakan eks hotel musi ( Pada awalnya hotel ini bernama Hotel Schwartz/Hotel Juling dibangun pada tahun 1903 dengan gaya Indis).

Bangunan yang sampai saat ini tidak lagi berfungsi sebagai penginapan dulunya merupakan hotel yang terbaik di Palembang pada tahun 1930-an. Pada awalnya hotel ini bernama Hotel Schwartz dan dibangun pada tahun 1903 dengan gaya Indis. Secara keseluruhan bangunan terdiri atas dua bangunan, yaitu bangunan utama dan bangunan penunjang. Pada bangunan utama terdapat dua bagian, yaitu ruang aula dan kamar tamu yang terdiri dari 20 kamar. Pada bangunan penunjang terdapat beberapa ruangan yang difungsikan sebagai gudang, dapur dan kamar mandi untuk kamar-kamar kelas ekonomi.

Hotel Musi yang strategis yang berdekatan dengan kantor ledeng dan pusat kota saat ini merupakan hotel yang paling bagus pada masanya. Seiring waktu hotel tersebut mengalami keterpurukan sehingga pada tahun 2000 awal menjadi hotel kelas rendahan, ada loket travel  dan lain lain.

Hotel musi masih menghadapi polemic kepemilikan tanah dan bangunan dimana saat itu hotel musi di bangun oleh lim Kim Sik pada tahun 1903 bekerjasama dengan pemerintah belanda maka hotel itu diberinama dengan Hotel Julling dan kemudian menjadi Hotel Zwart. Pada saat masa penjajahan jepang hotel ini di ambil alih dan di menjadi penginapan Kompeitai barulah pada tahun 1946 pemerintah Indonesia dapat mengambil alih dan di beri nama Hotel Musi.


Tepat di seberangnya yg saat ini menjadi kantor Polisi Meliter di Jl.Merdeka Palembang dulunya merupakan kantor pengendali karet di palembang pada zaman Belanda.

Rubber Restrict Kanttor (kantor restriksi karet) yang dibangun pada tahun 1930-an memiliki peranan penting dalam menentukan kebijakan menghadapi krisis ekonomi dunia (malaise) 1920/1930. Berdasarkan sejarahnya dari dulu Palembang sangat di kenal dengan komoditi kopi dan Karet yang di kuasai oleh tiga kelompok besar yaitu kelompok Firma, Kelompok 3 eksportir & kelompok eksportir kolonial. 

Apalagi saat terjadi rubber boom sekitar tahun 1912 dan 1915, orang-orang di Keresidenan Palembang (masuk seluruh daerah di Sumsel) demikian mudahnya membeli mobil. Peningkatan kemakmuran makin menjadi setelah tahun 1920. Dalam tahun 1920, mobil pribadi belum sampai 300 buah. Tetapi, pada tahun 1927, jumlahnya meningkat sampai 3.475 buah. Mobil ini terdiri atas berbagai mereka, antara lain Ford, Albion, Rugby, Chevrolet, dan Whitesteam (Djohan Hanafiah: Dicari, Walikota yang Memenuhi Syarat: 2005).

Betapa makmurnya para toke para dan pebisnis masa itu tampaknya menjadi "wajah" Pasar 16 Ilir. Berita di Pertja Selatan, 17 Juli 1926, tertulis bahwa di kawasan Sungai Rendang, telah berdiri show room mobil Ford. Bahkan, penjual mobil pun telah memakai surat kabar sebagai sarana promosi dalam bentuk iklan. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu zaman kemerdekaan, geliat perekonomian makin tampak di kawasan ini. Antara lain, menurut kesaksian lisan beberapa orang yang hidup pada masa itu, keberadaan beberapa bank di Jl Tengkuruk. Yaitu, Nederland Indische Bank, Bank Esconto, Chinese Bank, Bank Ekonomi, dan Bank Indonesia.

Monpera , Monumen Di Tengah Kota Yang Berisi Sejarah Bangsa


Setelah puas menghabiskan waktu di seputaran Jalan Merdeka kamipun beranjak untuk menuju ke tempat berikutnya, yang sebenarnya masih belum terpikir rutenya mau ke mana. tetapi monpera kayaknya lebih dekat untuk kami tuju.

Monpera (Monumen Amanat Penderitaan Rakyat, yg dulunya merupakan kawasan terjadinya Perang 5 hari 5 malam Palembang tahun 1947, setelah memarkirkan motor di depan RS. AK. Gani yang tepat bersebrangan dengan Monpera. Kamipun tidak langsung masuk melainkan berkeliling di pelataran monumen ini terlebih dahulu.

Adek yang sangat tertarik dengan alat-alat berat, segera berlari untuk melihat meriam dan tank yang terpajang di pelataran luar.


Dari halaman monpera yang terpajang tulisan Monpera berwarna putih di hiasi dengan prasasti gading gajah di belakang tulisan tersebut, di sebelah kiri terdapat tank Stuart yang merupakan produksi Amerika yang dibuat berkisar tahun 1941-1945. dan di hiasi juga oleh meriam 25 PDR buatan Inggis tahun 1941.

Dulu tank ini menghiasi taman di bundaran pasar cinde termasuk meriam 25 PDR nya tetapi sejak tahun 2011, taman di bundaran pasar cinde tersebut berubah menjadi taman enterpreneur, sedangkan untuk tank dan meriam ini menjadi penghias pelataran monpera

Beruntung si "Stuart" ada di atas kalau tidak sudah jadi kuda-kudaan
Memperhatikan sang 25 PDR


Bentuk Monpera menyerupai bunga melati bermahkota lima. Melati menyimbolkan kesucian hati para pejuang, sedangkan lima sisi manggambarkan lima wilayah keresidenan yang tergabung dalam Sub Komandemen Sumatera Selatan. Sedangkan jalur menuju ke bangunan utama Monpera berjumlah 9, yaitu 3 di sisi kiri, 3 di sisi kanan, dan 3 di sisi bagian belakang. Angka 9 tersebut mengandung makna kebersamaan masyarakat Palembang yang dikenal dengan istilah “Batang Hari Sembilan”. Sementara tinggi bangunan Monpera mencapai 17 meter, memiliki 8 lantai, dan 45 bidang/jalur. Angka-angka tersebut mewakili tanggal proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.


Saat melewati gerbang utama adek berpose seolah-olah sedang mengangkat gading gajah terebut yang terbuat dari coran semen dan pasir. Gading tersebut melambangkan perjuangan rakyat Sumatera Selatan bak gajah mati meninggalkan gading. Pada gading gajah tertulis prasasti dan angka tahun diresmikannya Monpera.

Simetris dengan prasasti gading gajah, terdapat dada membusung garuda pancasila yang ada pada dinding bangunan utama Monpera. Sementara pada bagian yang lain terdapat dua relief, relief pertama menggambarkan kondisi masyarakat saat pra kemerdekaan, sedangkan relief yang lain menggambarkan peristiwa perang 5 hari 5 malam.


Kamipun melangkah masuk dengan harga ticket 5 ribu perorang sedangkan untuk adek tidak di kenakan ticket, maka kamipun segera menjelajahi setiap ruangan, banyak koleksi sejarah yang kami temukan disini terutama berkaitan dengan perlawanan masyatakat Sumatera Selatan saat mengahadai agresi meliter Belanda ke II, dari foto, dokumen, jenis senjata, pakaian pejuang, serta mata uang yang pernah beredar di Sumatera Selatan.

Adak sangat menikmati lantai demi lantai, dengan khusuk terkadang membaca keterangan foto, atau terkadang memperhatikan diorama perjuanga, dan sekali-sekali bertanya saat adek tidak mengerti. Beberapa kali adek minta di foto dengan patung dada pahlawan dari Sumatera Selatan

Berpose bersama patung dada Dr. AK. Gani, Bambang Utoyo & H. Abdul Rozak
Setelah berkeliling dari lantai-kelantai akhirnya kamipun sampai ke lantai ke paling atas, aku pun naik terlebih dahulu kemudian di susul oleh adek, suasana di puncar monpera lagi ramai, banyak pengunjung yang sedang mengabadikan diri mereka di dalam bidikan hp.

Awal mulanya adek ikut menaiki tangga yang terbuat dari kayu tersebut, tetapi setelah sampai di atas muka ketakutan adekpun keluar mungkin melihat bentuk atap yang miring sehingga membuat adek hanya terduduk di puncak monpera, dengan setengah merengek adekpun segera turun dan menunggu di bawah tangga kayu tersebut.

Para pengunjung yang menikmati suasana dari atas Monpera
Muka adek yang ketakutan dan tidak berani berdiri di puncak ampera




'Adek.. tunggu di bawah saja yah.."

Melihat adek yang hanya menunggu di bawah akupun menyudahi untuk menikmati puncak Monpera, sekaligus melanjutkan perjalanan kami ke tujuan yang sudah menanti.

Bangunan Terlantar Yang Menjadi Kampung Mural

Palembang Heritage Half Day Tour - Adek bergaya di salah satu lukisan kampung mural
Sendirian di rumah, karena kakak sudah siap-siap karena diajak oleh teman nya untuk berenang maka membuat adek bete. 
"Yah, Anter kakak sekarang saja, sudah di tunggu sama kawan kakak..... "Kata kakak minta antar ke rumah temanya di kawasan benteng kuto besak. 
" Yok... Adek ikut nggak? Tanyaku kepada adek
Dengan muka bete... "Ikut ya"

Dengan perlahan motorpun ku pacu, karena jarak rumah temannya kakak juga tidak terlalu jauh. Sehingga 5 menit berlalu sampailah kami ke tempat temenya kakak. 
"Yah.... Kita jalan-jalan saja" Kata adek
"Jalan kemana?" Tanyaku
"Terserah ayah" Kata adek


Terpikir di kepala kalau ku ajak saja adek keliling seputaran BKB yg di penuhi oleh Cagar budaya. Kulihat jam tangan sudah menunjukan pukul 9 pagi, aku berfikir kemana mulai nya, saat melintas di gedung Jacob van den Berg sedang di lakukan pembersihan, maka ku arahkan motor ini ke arah kampung mural gudang buncit.

Gudang buncit yang sekarang menjadi kampung mural yang penuh dengan lukisan-lukisan biasa & juga yg 3D, dulunya lokasi ini merupakan komplek pergudangan milik etnis cina yaitu Ong Boen Tjit, yg akhirnya lebih di kenal dengan gudang buncit. Informasi dari masyarakat sekitar kalau dulunya di kawasan ini pernah berdiri pabrik karet yang cukup besar,  tetapi kebakaran yang menghabiskan dari pabrik tersebut, sehngga di ganti menjadi kawasan pergudangan.

Lokasi ini pernah juga di jadikan sebagai pergudangan beras, tetapi itupun tidak bertahan lama karena tingkat keamanan yang sangat kurang saat itu dan pengaruh dari krisis ekonomi yang buruk, akhirnya setelah gudang itadak terpakai dan menjadi terlantar, banyak besi-besi, seng dan barang lainnya yang di ambil satu persatu oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Lama terlantar lokasi gudang tersebut di penuhi rumput, ular dan biawak  maka pada awal 2018 pemerintah kota Palembang berinisiatif membenahi kawasan ini menjadi kawasan wisata, dengan menggandeng Dulux sebagai produsen cat yang mewarnai kampung tersebut.


Banyak Spot yang menarik dan dapat menjadi pengisi laman medsos, sehingga  tidak heran saat sore hari banyak pengunjung yang sekedar duduk-duduk, ber selfie ria, ataupun memancing di sungai musi.

Support dari pemilik lahan yaitu Pak Taslim yang merelakan lahannya untuk dijadikan tempat wisata dan juga kepada Pak Iwan Harda yang memelopori dibukanya lokasi ini, menjadikan lokasi selama ini di anggap liar tersebut menjadi berbalik 180 drajat.


Menurut penilaian saya bahwa lokasi gudang boencit ini harus lebih banyak berbenah lagi, fasilitas penunjang wisata seperti toilet, bangku taman atau lampu-lampu yang bisa menerangi saat malam hari, karena beberapa kali saat kunjungan malam kesini, saat berdiri di dekat tulisan tepian sungai musi akan nampak indah, kilatan air yang terkena cahaya, temaram cahaya dari jembatan Ampera, siluet sang musi VI yang membekas. Tetapi akan berbanding terbalik saat melihat gudang boencit yang masih gelap gulita.

Lokasi Gudang Boencit

Untuk menuju ke tempat belum ada angkutan umum yang melintasi  lokasi ini, yang paling dekat dari kawasan Benteng Kuto Besak berjalan ke arah sekanak sekitar 300 meter atau bisa menggunakan becak ataupun angkutan online.
Trotoar Warna-Warni
Awas hati-hati dek.... kuku bucketnya tajam

Tuesday, 2 April 2019

Mancing di Talang Jambe


Keuntungan kalau di belakang rumah ada aliran anak sungai , buka pintu belakang lempar kail langsung jadi kegiatan memancing sore, seperti itulah yang di lakukan oleh adek saat kami mengunjungi tempat kami di talang jambe.

Sore ini kita ke kawasan talang jambe dan lihat sungai di belakang rumah sedikit meluap, mungkin karena hujan beberapa hari ini. Dengan umpan serangga di kail, lumayan menjadi hiburan sore ini.