Route kereta api Palembang - Lubuk Linggau |
Kali ini perjalanan bukan liburan tetapi orang tua untuk mudik ke kampung kelahiran mereka karena kakak ibu yang paling tua sudah berpulang, setelah mendapat telpon pada sore hari kalau keadaan uwak sudah sekarat, tak lama berselang mendapat telpon lagi kalau uwak sudah berpulang, tangis ibu langsung pecah tak tertahan, ibu adalah anak bungsu dan perempuan sendiri dari 3 saudara yang semuanya laki-laki , Uwak yang tertua tinggal d tebing tinggi 4 lawang dan yang no 2 tinggal di kota Bengkulu. Kebingungan ibu bukan tanpa alasan karena kondisi ayah yang juga mengalami sakit yang tidak dapat di tinggal sedangkan di tebing tinggi kakaknya sudah berpulang.
Setelah rembukan keluarga akhirnya kami pun memesan ticket kereta sindang marga malam, karena ibu adalah type yang tidak bisa naik mobil jarak jauh pasti akan mengalami mabuk darat, kami pun segera bersiap, setelah menyelesaikan pekerjaan, akupun pulang kerumah untuk mempersiapkan pakian barang sehari dua hari dan langsung meluncur ke tempat ibu.
Dengan menggunkan taxi online kamipun berangkat ke stasiun kertapati karena keberangkatan kereta sindang marga itu tepat pada pukul 8 malam, kamipun menunggu di ruang tunggu stasiun, Ayah yang masih mengunyah roti pemberian bunda tanpak santai, sejak ayah sakit saraf yang menyerang dirinya efek dari kecelakaan yang menimpanya pada tahun 2010 yang lalu, menyebabkan memori ingatan beliau menjadi turun drastis, jadi saat ini ibu yang mengurusi kebutuhan ayah sehari-hari.
Tepat pukul 8 malam kereta sindang margapun mulai meninggal kan sepur 9 stasiun kereta api, semboyan 35 dari kereta ini mengingatkan ku kalau sudah lama sekali aku tidak kembali ke kampung kelahiran orang tua ku ini.
Dulu saat nenek kami masih ada hampir setiap tahun saat liburan sekolah ayah mengajak kami pulang kampung, ada saja kegiatan di kampung ini dari membantu kakek memetik kopi atau menunggu durian runtuh, ikut mancing ikan di lubuk, ataupun mandi di sungai sesuatu hal yang sangat kami tunggu-tunggu saat itu, tetapi semua sudah berlalu termasuk rumah tinggal kakek & nenek dulu sudah habis terbakar beberapa tahun yang lalu.
Kereta melaju cepat hanya beberapa kali berhenti di stasiun besar, tidak terasa 20 stasiun sudah di lewati, jam di tangan sudah menunjukan pukul 2 pagi, artinya tidak lama lagi kami akan sampai di tanah kelairan ayah dan ibu, saat telah sampai keponakan ibu pun sudah menjemput kami, karena jarak dari stasiun tebing tinggi ke dusun ayah dan ibu kurang lebih 8 km, sedangkan kalau dini hari seperti itu belum ada angkutan dan juga rawan tindak kejahatan.
Setelah rembukan keluarga akhirnya kami pun memesan ticket kereta sindang marga malam, karena ibu adalah type yang tidak bisa naik mobil jarak jauh pasti akan mengalami mabuk darat, kami pun segera bersiap, setelah menyelesaikan pekerjaan, akupun pulang kerumah untuk mempersiapkan pakian barang sehari dua hari dan langsung meluncur ke tempat ibu.
Dengan menggunkan taxi online kamipun berangkat ke stasiun kertapati karena keberangkatan kereta sindang marga itu tepat pada pukul 8 malam, kamipun menunggu di ruang tunggu stasiun, Ayah yang masih mengunyah roti pemberian bunda tanpak santai, sejak ayah sakit saraf yang menyerang dirinya efek dari kecelakaan yang menimpanya pada tahun 2010 yang lalu, menyebabkan memori ingatan beliau menjadi turun drastis, jadi saat ini ibu yang mengurusi kebutuhan ayah sehari-hari.
Tepat pukul 8 malam kereta sindang margapun mulai meninggal kan sepur 9 stasiun kereta api, semboyan 35 dari kereta ini mengingatkan ku kalau sudah lama sekali aku tidak kembali ke kampung kelahiran orang tua ku ini.
Dulu saat nenek kami masih ada hampir setiap tahun saat liburan sekolah ayah mengajak kami pulang kampung, ada saja kegiatan di kampung ini dari membantu kakek memetik kopi atau menunggu durian runtuh, ikut mancing ikan di lubuk, ataupun mandi di sungai sesuatu hal yang sangat kami tunggu-tunggu saat itu, tetapi semua sudah berlalu termasuk rumah tinggal kakek & nenek dulu sudah habis terbakar beberapa tahun yang lalu.
Kereta melaju cepat hanya beberapa kali berhenti di stasiun besar, tidak terasa 20 stasiun sudah di lewati, jam di tangan sudah menunjukan pukul 2 pagi, artinya tidak lama lagi kami akan sampai di tanah kelairan ayah dan ibu, saat telah sampai keponakan ibu pun sudah menjemput kami, karena jarak dari stasiun tebing tinggi ke dusun ayah dan ibu kurang lebih 8 km, sedangkan kalau dini hari seperti itu belum ada angkutan dan juga rawan tindak kejahatan.
Pelukan yang berbalur tangisan pun pecah saat ibu memeluk istri uwak di rumah duka, jenazah uwak pun masih terbujur yang rencananya besok mau di makam kan di pemakaman desa ini, uwak yang dulu berbadan besar, tinggi, yang pernah menjadi salah satu guru di kecamatan 4 lawang ini, tidak jauh dari rumah beliau, sekarang terbujur memenuhi janji untuk menemui ilahi.
Pemakaman sudah di lakukan , tanah merah masih membekas di sandal ini, taburan bungapun masih terlihat segar di atas pemakaman, hanya anak-anak uwak yang merupakan sepupuku masih tinggal di pemakaman tersebut.
Ada saudara kandung ayah yang tinggal di dusun ini, banyak juga sepupu ayah yang juga tinggal di sini dan keponakannya juga tidak sedikit, silaturahim pun kami rajut kembali dengan mendatangi keluarga tersebut, walaupun kondisi ayah sudah tidak seperti dahulu lagi yang sulit untuk berkomunikasi dengan lancar dengan keluarga di dusun.
Kami tidak lama untuk bertandang di dusun ini, setelah 2 hari kamipun pulang mengingat kondisi ayah pun yang tidak memungkinkan, di sini selain melayat kamipun memberi khabar kondisi ayah terkini biar tidak menjadi pertanyaan orang yang ada di dusun.
Mobil kijang yang di sopiri oleh sepupu terus mengikuti tikungan aspal di sepanjang jalan menuju ke pusat kota tebing tinggi, ibu sempat mampir kepasar untuk membeli beberapa ikat petai, KA Selero dengan jam keberangkatan pukul 10 dari stasiun Tebing Tinggi karena kereta ini berangkat dari Lubuk Linggau pukul 08:30 pagi.
Pemakaman sudah di lakukan , tanah merah masih membekas di sandal ini, taburan bungapun masih terlihat segar di atas pemakaman, hanya anak-anak uwak yang merupakan sepupuku masih tinggal di pemakaman tersebut.
Ada saudara kandung ayah yang tinggal di dusun ini, banyak juga sepupu ayah yang juga tinggal di sini dan keponakannya juga tidak sedikit, silaturahim pun kami rajut kembali dengan mendatangi keluarga tersebut, walaupun kondisi ayah sudah tidak seperti dahulu lagi yang sulit untuk berkomunikasi dengan lancar dengan keluarga di dusun.
Kami tidak lama untuk bertandang di dusun ini, setelah 2 hari kamipun pulang mengingat kondisi ayah pun yang tidak memungkinkan, di sini selain melayat kamipun memberi khabar kondisi ayah terkini biar tidak menjadi pertanyaan orang yang ada di dusun.
Mobil kijang yang di sopiri oleh sepupu terus mengikuti tikungan aspal di sepanjang jalan menuju ke pusat kota tebing tinggi, ibu sempat mampir kepasar untuk membeli beberapa ikat petai, KA Selero dengan jam keberangkatan pukul 10 dari stasiun Tebing Tinggi karena kereta ini berangkat dari Lubuk Linggau pukul 08:30 pagi.
Masih cukup lama menunggu, dan penumpang yang menunggu keberangkatan dari stasun ini tidak terlalu ramai, sepupu ku dan satu adik tiri ibu masih menunggu di ruang keberangkatan memastikan sampai kami naik kereta.
Di ujung sana lokomotif kereta sudah tampak, suara klaksonnya yang keras bertanda sang ular besi akan merapat ke stasiun Tebing Tinggi ini, kamipun pamit, kepada semua dan alam yang ikut andil membesarkan ku di dusun ini, entah kapan akan kembali lagi, terserah angin yang akan berhembus ke mana.
Di ujung sana lokomotif kereta sudah tampak, suara klaksonnya yang keras bertanda sang ular besi akan merapat ke stasiun Tebing Tinggi ini, kamipun pamit, kepada semua dan alam yang ikut andil membesarkan ku di dusun ini, entah kapan akan kembali lagi, terserah angin yang akan berhembus ke mana.
Tebing Tinggi, 4 Lawang, 1217
No comments:
Post a Comment